Apakah Tim Anda Siap Menghadapi 10 Tren HR Terbesar?
Deloitte belum lama ini meluncurkan laporan terbarunya yang berjudul, “The Rise of the Social Enterprise.” Setelah melakukan penelitian selama satu tahun dan melakukan berbagai survei dengan para pimpinan usaha dan staf HR di seluruh dunia dalam laporan tersebut, seperti diterangkan oleh judulnya, menyoroti semakin pentingnya keberadaan social enterprise atau wirausaha sosial.
Laporan tersebut mendefinisikan social enterprise sebagai “organisasi atau perusahaan yang misinya menggabungkan pertumbuhan pendapatan dan profit-making dengan kebutuhan untuk menghormati dan mendukung lingkungan dan komunitasnya. Hal ini berarti turut mendengarkan, berinvestasi, dan secara aktif mengelola tren yang membentuk dunia saat ini. "
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa dalam dunia yang semakin transparan saat ini, perusahaan dinilai tidak hanya berdasarkan kekuatan finansial, kualitas layanan atau kepuasan pegawai mereka, tetapi juga atas hubungan sosial dengan para pelanggan, mitra usaha serta kontribusi atau dampak perusahaan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Semakin pentingnya social capital atau sumber daya sosial suatu perusahaan juga terlihat dari hasil survei yang menunjukkan bahwa sebanyak 65% dari para CEO yang disurvei menilai " inclusive growth (pertumbuhan inklusif)" sebagai salah satu dari tiga target utama mereka, jumlah yang tiga kali lebih besar daripada pentingnya " shareholder value (nilai pemegang saham)."
Laporan tersebut selanjutnya mengidentifikasi 10 tren HR yang memperlihatkan pandangan terpadu mengenai social enterprise. Responden diminta untuk menilai setiap tren dalam hal kepentingan dan kesiapannya. Hasil yang diperoleh mengungkapkan bahwa mayoritas responden setuju bahwa masing-masing tren berikut penting, namun sebagian besar perusahaan belum siap untuk menjalankannya.
Mari pelajari lebih lanjut tren HR berikut dan tantangan yang mungkin dihadapi:
1. The Symphonic C-Suite
Tren paling penting yang diidentifikasi adalah perlunya para eksekutif "C-suite" (para eksekutif tertinggi pada perusahaan dengan jabatan yang dimulai dengan inisial 'C'; CEO, COO, CFO, dsb.) untuk bekerja dengan lebih terintegrasi, atau yang dikenal dengan sebutan "C-suite yang simfonik", walau pada saat yang sama juga tetap memimpin divisinya masing-masing. Pendekatan ini membantu para pimpinan untuk memahami dan mengelola urusan sumber daya sosial yang rumit dengan lebih baik.
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa para responden dengan tim C-suite yang simfonik lebih mungkin untuk mengharapkan perusahaan mereka tumbuh 10% atau lebih di tahun berikutnya dibandingkan dengan responden yang pimpinannya bekerja secara independen. Terlebih lagi, penelitian ini juga menyimpulkan bahwa hanya tim C-suite yang simfonik yang mampu memimpin sembilan tren berikut ini dengan sukses.
2. Ekosistem di Tempat Kerja: Mengelola di Luar Lingkup Perusahaan
Namun demikian, masih banyak perusahaan yang belum siap untuk mengelola lingkungan kerja yang terdiri dari “pengaturan kerja alternatif” tersebut. Beberapa permasalahan yang diangkat berkaitan dengan urusan hukum, kekayaan intelektual, praktik kerja berpemilik, dan berbagai tantangan dari segi budaya. Para pimpinan perusahaan perlu secara proaktif saling bahu-membahu dengan staf HR untuk mengembangkan strategi ketenagakerjaan yang terintegrasi serta memiliki cakupan diluar batas perusahaan mereka, agar dapat memanfaatkan adanya pilihan tenaga kerja yang lebih luas lagi di luar sana untuk kepentingan bersama semua pihak.
3. Bentuk Penghargaan Kekinian: Personalised, Agile, dan Holistik
Idealnya, hal ini tidak seharusnya terjadi karena tren kompensasi saat ini sedang menanjak dan perusahaan harus mulai merancang sebuah sistem penghargaan yang relevan dengan pegawai mereka. Masih banyak aspek yang dapat dikembangkan terkait tren ini dan perusahaan perlu mulai fokus untuk menjadi perekrut yang ideal dengan memberikan pengalaman kerja yang didambakan oleh semua kandidat, tidak cukup dengan hanya "mampu bersaing di pasaran".
4. Dari Karir Hingga Pengalaman: Pilihan Jalur Yang Baru
Namun demikian, penelitian tersebut menemukan bahwa hanya 59% responden survei yang menilai perusahaan mereka efektif dalam memberdayakan pegawainya. Banyak dari mereka yang ingin menciptakan model karir yang “terus menanjak” tetapi menghadapi kesulitan dalam mewujudkannya karena alat dan sistem untuk melembagakan proses pembelajaran yang berkelanjutan masih belum matang.
5. Dividen Atas Umur Panjang: Bekerja di Era Angka Harapan Hidup 100 Tahun
Namun demikian, tetap ada berbagai tantangan dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mempekerjakan "tenaga kerja kawakan", seperti keterampilan yang lebih berumur, bias usia dan berkurangnya dana pensiun. Disaat manusia terus hidup lebih panjang, muncul suatu kebutuhan untuk mengubah persepsi kita terhadap tipe-tipe kandidat, praktik pembayaran, dan nilai-nilai budaya. Perusahaan perlu menyusun ulang strategi ketenagakerjaan mereka, mengubah pola pikir dan mengadopsi pendekatan baru untuk menciptakan praktik dan kebijakan inovatif dalam perusahaan agar dapat mendukung periode karir yang makin panjang.
6. Kewarganegaraan dan Dampak Sosial: Masyarakat Sebagai Cermin Perusahaan
Namun demikian, meskipun 77% responden menilai ‘kewarganegaraan’ sebagai suatu hal yang penting, hanya 18% yang mengatakan bahwa tren ini merupakan prioritas utama dalam strategi perusahaan mereka. Walau begitu, di era social enterprise ini, semakin banyak perusahaan yang mulai mengambil langkah-langkah untuk mengikuti tren ini karena upaya memperbaiki dampak perusahaan terhadap masyarakat sangat diperlukan dan memegang perann vital dalam keberhasilan usaha mereka.
7. Kesejahteraan: Sebuah Strategi Sekaligus Tanggung Jawab
Untuk menanggapi masalah ini, banyak perusahaan berinvestasi dalam menyediakan program kesejahteraan bagi pegawai mereka, karena kesehatan yang baik merupakan aspek vital agar pegawai dapat berfungsi (bekerja) dengan baik. Namun, laporan Deloitte menemukan bahwa masih terdapat kesenjangan antara apa yang diinginkan karyawan dan apa yang diberikan perusahaan; perusahaan perlu berusaha lebih giat lagi untuk menjadikan kesejahteraan sebagai prioritas strategis mereka..
8. AI, Robotik dan Otomatisasi: Peran SDM dalam Lingkaran Teknologi
Perusahaan yang berhasil adalah mereka yang mampu menggabungkan elemen manusia (dengan keterampilan yang relevan) ke dalam loop (lingkaran) teknologi ini; dan merancang ulang sistem kerja untuk memanfaatkan penggunaan teknologi agar mampu menciptakan sebuah sistem yang lebih efisien, berharga bagi pelanggan dan bermakna bagi pegawai.
9. Tempat Kerja Yang ‘Terlalu Terhubung’: Akankah Produktivitas Berkuasa?
Laporan tersebut menyarankan bahwa untuk memperoleh manfaat penuh dari tempat kerja yang sangat terhubung, diperlukan kolaborasi antara divisi HR, IT, dan para pimpinan usaha untuk menciptakan sebuah lingkungan kerja terintegrasi yang menggabungkan teknologi, desain ruang fisik, metode kepemimpinan baru, dan praktik kerja baru.
10. People Data: Di Manakah Batasan Pastinya?
Sudah banyak cerita tentang perusahaan yang membocorkan data ke tangan yang salah sehingga peran yang dimainkan HR dalam hal ini sangatlah signifikan. Sebagai 'penjaga gerbang', staf HR perlu bekerja sama dengan para pimpinan untuk meningkatkan peran mereka dalam melindungi data tersebut dan memastikan lagi adanya tingkat keamanan dan perlindungan data yang lebih ketat.
Penelitian komprehensif ini berfungsi sebagai suatu 'wake-up call' bagi perusahaan-perusahaan saat ini. Meskipun kita mungkin belum siap untuk menghadapi 10 tren ini, namun tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita sedang bergerak menuju transformasi bentuk usaha dari business enterprises menjadi social enterprises. Akan lebih baik bagi Anda untuk mulai memahami isu-isu ini sejak dini dan mulai mengembangkan ide dan strategi baru untuk memastikan bahwa organisasi Anda tetap tangguh dalam perubahan paradigma baru ini di kemudian hari. Tidak hanya itu, dalam transformasi bentuk usaha tersebut HR juga perlu mengetahui tentang employee burnout. Jangan biarkan karyawan Anda mengalami hal tersebut.